Bidang ilmu kebumian, khususnya geofisika, tidak dapat lepas dari kegiatan pengukuran berbagai besaran fisika di lapangan. Data yang dihasilkan dari kegiatan pengukuran tersebut akan dianalisis kaitannya dengan berbagai keadaan dan fenomena yang terjadi di permukaan bumi. Beberapa fenomena alam seperti halnya erupsi gunung api, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir membutuhkan sistem monitoring. Sistem tersebut meliputi sistem akuisisi dan pengolahan sinyal runtun waktu dari berbagai parameter fisis yang diukur. Parameter fisis tersebut berasosiasi dengan fenomena alam yang terjadi. Perkembangan teknologi jaringan internet yang masif pada saat ini sangat mendukung pengembangan sistem monitoring near real-time kebumian. Sistem near real-time yang dapat menampilkan data hasil pengukuran pada saat yang sama atau tidak berselang lama setelah kejadian menjadi sangat dibutuhkan karena berhubungan erat dengan upaya mitigasi bencana yang dilakukan.
Era keterbukaan saat ini sangat mendukung iklim riset. Berawal dari era piranti lunak open-source, banyak pihak yang kemudian berfikir untuk berbagi hal-hal lainnya demi kemajuan bersama. Hal tersebut semakin mengemuka ketika dikaitkan dengan kepentingan kemanusiaan, terutama aspek keselamatan ketika terjadi bencana alam. Salah satu isu global saat ini adalah kolaborasi dalam peramalan dan mitigasi bencana, khususnya gempa bumi. Kepentingan terbesar dalam hal ini adalah upaya meminimalisir jumlah korban dan kerugian lain yang dapat ditimbulkan. Turut andilnya berbagai pihak dalam penyediaan data seismik dan pengembangan sistem monitoring gempa bumi dapat memberikan sumbangsih yang besar bagi upaya ini (Clinton, 2014).
Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Jawa. Di bagian utara provinsi ini terdapat Gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Erupsi besar terakhir terjadi pada Oktober 2010 (Komorowski dkk., 2013). Sekitar 353 orang pada saat itu meninggal dan lebih dari 350,000 orang harus dievakuasi dari area terdampak. Bagian selatan Yogyakarta berbatasan dengan Samudera Hindia dengan tingkat seismisitas tinggi pada pertemuan antara Lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Salah satu peristiwa fenomenal yang pernah terjadi di wilayah ini adalah gempa bumi pada tanggal 26 Mei 2006 berkekuatan 6.3 SR Mw. Meskipun magnitudonya tidak terlalu besar, gempa ini telah mengakibatkan kerusakan sangat parah, sekitar 5700 manusia meninggal, dan menyebabkan ratusan ribu orang lainnya kehilangan tempat tinggal (Anggraini, 2013).
Referensi :
- Clinton, W. Hanka, S. Mazza, H. Pederson, R. Sleeman, K. Stammler, A. Strollo, and T.V. Eck, “EIDA: The European Distributed Data Archive for Seismology” in Proceedings Second European Conference on Earthquake Engineering and Seismology (ECEES)(August 2014).
- C. Komorowski, S.Jenkins, P.J. Baxter, A. Picquout, F. Lavigne, S. Charbonnier, R. Gertisser, K. Preece, N. Cholik, A. B. Santoso, Surono, Journal of Volcanology and Geothermal, 261, 260-294 (2013).
- Anggraini, “ The 26 May 2006 Yogyakarta earthquake, aftershocks and interactions,” Ph.D. thesis, Potsdam University, 2013.